Musik Saya

Sabtu, 09 April 2016

Evolusi Kebiasaan Masyarakat Indonesia Pada Umumnya di Pulau Jawa

Evolusi Kebiasaan Masyarakat Indonesia Pada Umumnya di Pulau Jawa

          Sebelum mengenal bagaimana keberadaan hidup orang Jawa, perlu diketahui pula daerah asal orang Jawa yaitu Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan daerah yang subur secara geografis. Maksudnya bahwa Pulau Jawa merupakan daerah gunung berapi yang memiliki sejumlah besar gunung berapi, baik yang masih bekerja maupun yang tidak. Sederet bukit-bukit kapur yang pada umumnya berbentuk rata terdapat di sana, dan dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung-gunung berapi ke limbah-limbah yang luas di tepi sungai-sungai yang besar. Lembah-lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus itu mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Karena itu Pulau Jawa di kenal dengan kesuburan tanahnya yang menghasilkan. Namun kesuburan tanah Pulau Jawa juga banyak dipengaruhi oleh iklimnya. 

           Keberadaan hidup orang Jawa, tak luput dari kehidupan sosial dan budaya orang Jawa yang memiliki corak baginya. Sedang kehidupan sosial dan budaya orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa-sisa kebiasaan-kebiasaan hidup pada zaman sebelumnya. Pengaruh dari sisa-sisa kebiasaan-kebiasaan hidup yang demikian menjadi ciri khas atau warna tersendiri bagi kehidupan sosial dan budaya orang Jawa. 

          Pengaruh tersebut dapat dimulai dari zaman berdirinya negara-negara Hindu-Jawa. Dalam kerajaan-kerajan agraris di Jawa maupun di banyak kerajaan kuno di Asia Tenggara, berkembang konsep khusus mengenai sifat raja. Dasarnya adalah kesadaran orang akan hubungan yang dekat antara susunan alam semesta dengan kerajaan manusia. Pandangan mengenai susunan antara alam semesta pada orang Jawa zaman dahulu diambil alih oleh agama hindu, yang menganggap bahwa alam semesta merupakan benua berbentuk lingkaran yang dikelilingi oleh beberapa samudera dengan pulau-pulau besar yang ada di empat penjuru yang juga merupakan tempat tinggal keempat penjaganya yang keramat. Konsep raja sebagai penjelmaan dewa memungkinkan bahwa seorang raja dalam suatu kerajaan kuno dapat memantapkan pemerintahan kerajaannya atas dasar keyakinan keagamaan rakyatnya.

            Menyusul kemudian munculnya negara-negara Islam di Pulau Jawa, juga ikut mempengaruhi dan merubah warna kehidupan hingga kini. Meskipun terkadang masih terlihat adanya corak-corak tertentu yang tetap mencirikhaskan dalam aspek-aspek kehidupannya. Seperti pada penyelenggaraan aktivitas sosial-budaya yang menyangkut upacara selamatan orang Jawa masih dapat mengharapkan bantuan dan perhatian dari para warga luasnya tetapi dalam kehidupan ekonominya ia berdiri sendiri.



·        Berikut ini adalah budaya Jawa yang sudah mulai agak Hilang


1.    PETANAN
        
           Petanan atau dalam bahasa Indonesia mencari kutu adalah salah satu kebiasaan orang Jawa yang mulai ditinggalkan. Pada zaman dahulu, petanan sering dilakukan pada waktu senggang atau saat beristirahat. Petananlebih sering dilakukan oleh kaum wanita, sambil saling mengobrol atau bercerita. Petanan sebenarnya bukan sekedar aktivitas mencari kutu, akan tetapi juga merupakan interaksi sosial antara orang tua dengan anak, atau seseorang dengan tetangganya. Petanan sangat menjaga keakraban antara individu satu dengan individu lainnya, karena interaksi yang telah dilakukan itu.
    
          “Kemajuan zaman sedikit demi sedikit telah menggerus adat atau kebiasaan orang Jawa seperti petananOrang Jawa pada zaman dahulu menjaga kebersihan kepalanya dengan melakukan aktivitas seperti petanan. Akan tetapi orang Jawa zaman sekarang lebih memilih pergi ke salon atau spa untuk menjaga kebersihan rambut mereka. Alasan orang zaman sekarang lebih memilih pergi ke salon dan spa karena masalah waktu dan merasa memiliki cukup uang.

           Selain itu, orang-orang zaman sekarang cenderung memilih hal-hal instan, karena tuntutat pekerjaan dan gaya hidup akibat pengaruh dari budaya luar. Padahal hal-hal seperti itu akan mengurangi interaksi sosial yang terjadi dengan tetangga atau kerabat dekat. Perubahan sosial seperti ini akan membuat rasa peduli antar sesama orang Jawa semakin berkurang. Sementara hal yang paling terlihat berbeda, yaitu mulai hilangnya sebuah tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, salah satunya mencari kutu atau petanan.

           Salah satu cara untuk menjaga tradisi atau kebiasaan orang Jawa yang sudah ada sejak dahulu itu, dengan melakukan kegiatan petanan. Walaupun kelihatannya memalukan di zaman sekarang ini, tapi petanan bisa menjadi sebuah ajang dalam berkumpul dengan teman, tetangga atau kerabat. Guna menjaga komunikasi dan interaksi sosial agar terus berjalan baik.

          Apabila orang Jawa di zaman sekarang ini mulai menurunkan ego dan rasa malunya, pastinya kegiatan seperti petanan masih teta pada. Karena sesibuk apapun masyarakat Jawa zaman sekarang, pasti punya waktu luang. Di waktu luang itulah mereka bisa berkumpul untuk saling mencari kutu atau petanan, walaupun tidak semua orang memiliki kutu di zaman modern seperti sekarang ini.


2.    PULUK

          Puluk adalah cara makan orang Jawa dengan menggunakan tangan secara langsung. Posisi tangan biasanya merapatkan kelima jari, kemudian menggunakannya untuk mengambil makanan. Orang Jawa yang suka hidup sederhana, sangat suka melakukan hal-hal yang sederhana pula, salah satunya adalah makan menggunakan tangan secara langsung. Orang Jawa pada zaman dahulu sangat suka makan menggunakan tangan atau puluk, alasannya karena pada zaman dahulu peralatan makan masih sangat sedikit. Akan tetapi, di zaman sekarang, mangan di puluk atau dalam bahasa Indonesia makan menggunakan tangan sudah mulai jarang. Walaupun ada, biasanya hanya pada acara-acara tertentu atau pada rumah makan lesehan.

          “Orang jawa, sama seperti halnya suku lain,tidak punya alat makan. Oleh karena itu orang jawa menggunakan tangan saat makan. Di zaman sekarang piring sudah terbuat dari keramik dan sendok bisa dijumpai dimana-mana karena itu orang jawa sekarang makan menggunakan sendok. Namun kebiasaan makan pakai tangan tetap tidak bisa hilang terutama saat prosesi adat.”

          Orang Jawa pada zaman sekarang lebih suka makan menggunakan sendok. Alasan pertama karena pada masa kini, sudah ada beragam alat makan yang di jual di toko. Selain itu, akibat pengaruh budaya luar, masyarakat beranggapan bahwa makan menggunakan sendok dianggap lebih sopan daripada menggunakan tangan secara langsung. Maka dari itu banyak orang yang memilih makan menggunakan sendok.

          Makan menggunakan tangan atau di puluk sebenarnya sangat menarik, karena terasa lebih nikmat daripada menggunakan sendok. Makan di puluk membuat tangan kita merasakan secara langsung tekstur makanan yang akan kita makan. Selain itu, makan menggunakan tangan juga lebih melatih kita untuk bersabar. Sebab, kita harus pandai-pandai memilih dan menyusun nasi serta lauk yang muat untuk di bawa jari-jari tangan kita. Karena jika tidak, nasi akan jatuh berceceran sebelum masuk ke dalam mulut.

          Hal-hal seperti itu tidak hanya membuat tradisi atau kebiasaan orang Jawa yang sudah ada mulai ditinggalkan, tetapi juga terancam hilang. Sebagai orang Jawa, harusnya orang-orang masa kini tidak perlu malu makan menggunakan tangan atau di puluk, tidak perlu malu dianggap kampungan atau kurang sopan. Justru harus merasa bangga, karena menjaga tradisi yang sudah ada.


3.    PINCUK

          Pincuk adalah sebuah wadah makan yang digunakan orang Jawa. Pincuk biasanya terbuat dari daun pisang yang kedua ujungnya disatukan menggunakan lidi, kemudian dibagian bawah berbentuk runcing seperti kerucut, lihat gambar pincuk di atas. Pincuk biasanya dipakai sebagai pengganti piring pada zaman dahulu.
         
          Selain itu, pincuk juga sering digunakan untuk tempat membagikan bancakan dan tempat makan saat bekerja di sawah. Pincuk dipilih para petani untuk tempat makan, karena cara membuatnya yang mudah, serta banyak daun pisang yang bisa dijumpai di sawah. Kemudian, agar tidak repot membawa piring dari rumah. Karena pada zaman dahulu piring orang Jawa masih terbuat dari tanah liat yang mudah pecah. Selain itu, walaupun sudah memakai piring, biasanya orang Jawa juga akan memberi alas daun pisang di atas piringnya tadi, jadi untuk mempermudah, para petani lebih memilih langsung menggunakan pincuk daun pisang saja.

          “Orang jawa memiliki kebiasaan yang mungkin aneh disbanding suku lain. Saat kita makan kita tidak boleh mengeluarkan suara karena dianggap mirip hewan terutama sapi yang jika makan mereka selalu mengeluarkan suara. Pada zaman dulu orang jawa makan dengan piring yang terbuat dari tanah liat sehingga sebelum meletakkan makanan akan diberi sehelai daun pisang karena jika tidk makanan akan kotor.” 

          Orang Jawa sangat suka makan beralaskan daun pisang atau pincuk, karena terasa lebih nikmat. Akan tetapi, pada saat ini, pincuk sudah jarang dipakai. Alasannya karena sudah ada beraneka ragam jenis piring yang dijual di toko-toko. Alasan lainnya adalah, mulai jarangnya orang menanam pohon pisang di sekitar rumah mereka. Karena keterbatasan lahan di masa seperti sekarang ini.

          Sekarang ini, pincuk masih bisa kita temukan di tempat-tempat penjual makanan tradisional Jawa, seperti; klepon, sego liwet, pecel, gudangan, lauk, jenang dan lain sebagainya. Makanan-makanan tradisional yang masih menggunakan pincuk, biasanya dijual di pasar atau pinggir-pinggir jalan. Untuk tetap menjaga keberadaan pinjuk atau tempat makan yang terbuat dari daun pisang ini, kita harus bangga dan tidak malu sesekali makan menggunakan pincuk. Serta menyuruh para penjual untuk menggunakan pincuk daripada plastik, karena plastik mengandung bahan kimia sedangkan daun bersifat alami, sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Salah satu rahasia orang Jawa yang memiliki umur panjang, mungkin dari makanan dan tempa makan yang mereka gunakan masih sangat alami, dibandingkan dengan orang-orang sekarang yang memilih sesuatu yang serba instan dan ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan mereka.


4.    LUNGGUH SILA

          Lungguh sila atau dalam bahasa Indonesia adalah duduk bersila, merupakan posisi duduk yang biasa dilakukan orang Jawa. Posisi ini adalah duduk di atas tanah secara langsung atau dengan beralaskan tikar. Posisi kedua kaki saling dilipat. Salah satu telapak kaki masuk ke sela antara betis dan paha (bawah lutut) kaki yang lainnya, sementara telapak kaki yang satunya berada tepat di bawah, lihat gambar di atas. Posisi duduk seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang pria.

Sementara wanita Jawa biasanya duduk dengan posisi kaki ditekuk ke samping. Sebab wanita Jawa pada zaman dahulu memakai jarik, jadi akan menyulitkan mereka untuk duduk bersila.Kebiasaan duduk bersila sudah ada di masyarakat Jawa sejak zaman dahulu. Orang Jawa lebih suka duduk di atas tanah daripada duduk di atas kursi. Duduk bersila biasanya dilakukan orang Jawa saat acara-acara adat atau hajatan, makan bersama, nonton tv, mengaji, belajar, serta saat melakukan aktivitas lainnya.

          “Saat makan laki-laki duduk bersila sedangkan wanita duduk dengan merapatkan selakangannya karena jika membuka selakangan dianggap tidak sopan, selain itu pakaian adat wanita zaman dulu tidak memungkinkan wanita untuk duduk mengangkan.” Ketika bertamu, orang Jawa zaman dahulu juga lebih memilih duduk di bawah, karena beranggapan duduk di bawah lebih sopan daripada duduk di atas kursi. Akan tetapi, pada zaman sekarang, orang lebih memilih duduk di atas kursi yang empuk, dibandingkan harus duduk di atas tanah yang keras. Kebiasaan-kebiasaan orang Jawa seperti lungguh sila, sudah mulai jarang kita temui di waktu sekarang ini. Hanya orang-orang yang bertempat tinggal di desa-desa yang masih sering lungguh sila. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kita untuk menjaga kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa zaman dahulu, yaitu dengan melakukan lungguh sila juga.


5.    JARIKAN
     
              Jarikan dalam bahasa Indonesia adalah memakai jarik. Jarik sendiri adalah sebuah kain bercorak batik yang biasanya dipakai dengan cara dililitkan dipinggang sampai menutupi kaki. Jarik biasanya dipakai oleh kaum wanita. Akan tetapi, pada acara-acara adat tertentu, kaum pria di Jawa juga memakai jarik. Jariakansebenarnya mengajarkan kesopanan dalam berpakaian untuk wanita Jawa. Motif jarik pada zaman dahulu, sangat menentukan status sosial orang Jawa. 

Ada motif-motif jarik tertentu, yang pada zaman dahulu hanya boleh di pakai oleh raja dan ratu di keraton. Seiring perkembangan zaman, kini semua orang bebas memakai motif jarik yang diinginkan.
Akan tetapi, jumlah orang pemakai jarik di zaman sekarang mulai sedikit. Pemakai jarik yang biasanya adalah orang lanjut usia, kini lebih memilih memakai baju daster atau rok, coba perhatikan gambar di atas.

Terlihat gambar nenek yang memakai daster dan jarikan. Penyebab semakin sedikit orang jarikan karena memakai jarik yang terlalu rumit dan membutuhkan waktu lebih lama, daripada jika memakai rok atau baju daster. Jariak semakin ditinggalkan, apalagi untuk kaum muda. Biasanya jarik dipakai kaum muda hanya di acara-acara tertentu seperti hajatan dan wisuda. Sebagai ciri khas pakaian orang Jawa, jarikan harus tetap dijaga keberadaannya. Jangan sampai orang Jawa lupa dengan kebiasaan berpakaian nenek moyangnya dulu.


6.    GULUNGAN

Gelungan adalah tatanan rambut bagi wanita Jawa. Gelungan hanya bisa dilakukan pada rambut wanita yang panjang. Apabila rambut wanita Jawa tersebut pendek, maka akan sangat sulut digelung atau bahkan tidak bisa sama sekali. Cara gelungan yaitu mengikat rambut dengan cara digulung dan dibentuk seperti cepol, lihat gambar diatas.

Gelungan sudah ada sejak zaman dahulu. Para wanita Jawa pada zaman dahulu yang kebanyakan memiliki rambut panjang, akan menggelung rambutnya. Hal ini bertujuan agar mereka tidak merasa gerah dengan rambut panjangnya itu. Orang Jawa biasa gelungan saat melakukan kegiatan sehari-hari. Akan tetapi, untuk acara resmi atau acara adat tertentu, orang Jawa akan gelungan dengan lebih rapi daripada saat kegiatan sehari-hari tadi. Contohnya gelungan saat acara pernikahan anak atau kerabatnya.

Pada zaman sekarang, hanya sedikit orang yang gelungan. Kebanyakan dari mereka yang masihgelungan adalah nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Akan tetapi banyak pula nenek-nekek zaman sekarang yang tidak gelungan, justru hanya mengikat rambut mereka dengan tali. Alasannya karena mereka memotong rambut dan memilih rambut pendek, agar lebih mudah diatur. Kemudian karena gelungan lebih merepotkan daripada mengikat rambut dengan tali.

Sebagai kebiasaan dan tradisi yang telah ada, gelungan harus tetap di jaga, dengan cara menggelung rambut yang memang panjang dan bisa digelung. Selain itu, sebagai orang Jawa, harus memanjangkan rambut, karena mahkota perempuan adalah rambutnya. Apabila memiliki rambut panjang, pastinya rambut akan mudah digelung.


7.    MLAKU MBUNGKUK NANG NGAREPE WONG TUWA

Mlaku mbungkuk disini maksudnya adalah berjalan membungkuk saat lewat di depan orang yang lebih tua. Perilaku orang Jawa seperti ini sudah ada sejak dahulu. Bertujuan untuk mengajarkan tatakrama dan sopan santun kepada anak, agar menghormati orang yang lebih tua. Posisi yang dimaksudkan dengan mlaku mbungkukyaitu, membungkukkan badan ke bawah, kemudian meletakkan satu tangan di belakang (tepat di atas pinggang), kemudian tangan yang satunya diluruskan ke bawah agak ke depan. Biasanya orang yang jalan membungkuk sambil berkata “nyuwun sewu, nderek langkung”. Saat berjalan dengan membungkukkan badan seperti ini, haruslah berjalan pelan-pelan, bukan malah berlari. Hal seperti itu adalah cara orang Jawa yang lebih muda dalam menghormati orang yang lebih tua, apabila hendak lewat di depannya. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar orang berjalan membungkuk di bawah ini.

“Dalam interaksi sehari-hari di masyarakat Jawa, orang lebih muda akan selalu membungkukkan badannya ketika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua. Etika ini bila dilihat sepintas akan terlihat sangat sepele, namun sebenarnya etika ini menggambarkan sikap tunduk atau hormat antara orang muda terhadap orang yang lebih tua. Selain itu, sikap membungkukkan badan juga menandakan bahwa orang ini menghargai dan menempatkan posisinya.“ (Zaairuh Haq, 2011:24)

Sayangnya, anak-anak muda di Jawa zaman sekarang mulai pudar sopan santun dan tatakramanya. Sehingga membuat mereka merasa tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang diajarkan orang tuanya sejak kecil. Disaat seperti sekarang ini, banyak anak kecil atau orang yang lebih muda, berjalan seenaknya saat lewat di depan oran yang lebih tua. Mereka merasa tidak malu atau dalam bahasa Jawa ora perkewuh. Akibat pengaruh budaya luar, akan membuat tatakrama dan perilaku anak muda di Jawa menjadi berubah. Maka dari itu kita harus pandai-pandai memilih kebudayaan yang masuk, dengan meniru hal baik dan membuang hal yang sekiranya tidak pantas dilakukan orang Jawa. Agar, sopan santun atau etika orang Jawa tidak hilang dengan begitu saja.


8.    UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA

Unggah-ungguh bahasa merupakan etiket bahasa (language ettiquete), kaidah sopan santun bahasa yang menjadi tolok ukur apakah tindak bahasanya itu halus atau kasar, hormat atau tak hormat,sopan atau tak sopan. Peristiwa bahasa (speech event) dan tindak bahasa (speech act) seseorang yang ditunjukkan kepada pendengar itu bersifat bebas, namun karena menyangkut hubungan pribadi dengan orang lain, maka harus mengikuti aturan pergaulan dalam bentuk sikap dan bentuk Bahasa patrap dan ucap).

Ragam unggah-ungguh bahasa Jawa yang pokok, yang pada umumnya dipakai oleh semua pemakai bahasa Jawa, ada tiga yang masing-masing memiliki sub-ragam lagi. Tiga ragam tersebut yaitu ragam ngoko, ragam madya dan ragam krama. Selain ragam pokok ada ragam khusus, karena pemakaiannya hanya sekelompok sosial. Ragam khusu yang dimaksud yaitu ragam krama inggil, ragam krama desa, ragam bahasa istana (kedaton dan Bagongan), dan ragam bahasa kasar.“ (Supono, 1998:16)

“Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang sangat susah dipelajari. Bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan pada awal abad ke-20 mengikuti sistema yang sangat rumit. Sistema tersebut berhubungan dengan perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, yaitu perbedaan yang berkenaa dengan kedudukan, pangkat, usia, dan tingkat keakraban antara yang menyapa dan yang disapa. Bahasa Jawa memiliki tiga strata pokok, yaitu Ngoko (strata tidak resmi), Madya (strata setengah resmi), dan Krama (strata resmi). Selai itu, masih ada enam strata lagi yang merupakan kombinasi dari ketiga strata pokok itu, ditambah dengan 300 kosakata yang disebut Krama Inggil. Penggunaan ketiga strata dan kombinasinya tersebut disesuaikan dengan atau sopan santun Jawa. Untuk dapat menggunakannya dengan tepat, maka harus ditentukan dahulu kedudukan orang yang diajak bicara. Perubahan sosial awal abad ke-20 sebagai akibat pendidikan dan kemajuan ekonomi telah mengubah struktur kelas sosial. Ada kalanya orang yang tua harus menghormanti yang lebih muda karena pangkatnya yang lebih tinggi/karena menjadi pedagang kaya.” (Rustopo, 2007)

Hal-hal seperti itu akan membuat hubungan menjadi canggung, dimana orang yang lebih muda harus di hormati orang yang lebih tua hanya karena pangkat atau status sosialnya yang lebih tinggi. Seiring perkembangan zaman, banyak orang Jawa yang mulai hilang Jawanya. Maksudnya disini yaitu, orang Jawa yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan benar, atau bahkan sudah tidak bisa menggunakan bahasa Jawa Krama.

“Masyarakat Jawa sangat mengawasi dan memperhatikan betul tingkatan bahasa Jawa. Bahkan orang akan dianggap tercela atau tidal sopan bila ia melakukan kesalahan dalam menggunakan tingkatan bahasa tersebut. Misalnya, seorang abdi memakai bahasa ngoko kepada bendaranya.

Sudah pasti sang bendara akan menghukumnya atau setidaknya akan mengusirnya. Dan memang tidak dipungkiri bahwa penggunaan bahasa pada awalnya tidak bisa lepas dari muatan politik. Namun sekarang, tradisi penggunaan tingkatan bahasa lebih cenderung bermuatan etika dan moral. Bermula dari sikap pengawasan yang berlebihan ini pula, kemudian dalam masyarakat Jawa terdapat istilah Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono.maksudnya bahwa kita harus selalu berhati-hati dalam bertutur kata, sopan santun, menghargai lawan bicara, termasuk berkata dengan perkataan dan tingkat bahasa yang benar.” (Zaairul Haq, 2011:22)

“Orang Jawa sekarang malu menggunakan bahasa Jawa, lebih menyukai bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan. Hal ini patut disesali, terutama melihat bahwa bahasa Jawa totok (bahasa Jawa Keratonan/Bagongan) dan bahasa Jawa Krama sudah hampir menghilang dari peredaran. Mudah-mudahan bahasa Jawa Ngaka tetap tidak sampai mengekor menjelang ambang kepunahan.“

Di waktu seperti sekarang ini, banyak anak-anak atau anak muda yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan benar. Mereka cenderung berbicara ngoko dengan orang yang lebih tua. Padahal dalam strata Jawa, itu sangat salah dan tidak sopan, atau sering disebut ora boso karo wong tuwa. Alasanya karena tidak tahu bahasa krama inggil atau bahasa krama alus. Penyebabnya karena jarang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.

Contohnya, ketika seorang anak berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kalimat “bapak lagi mangan”, seharusnya anak tersebut menggunakan kalimat “bapak nembhe dahar” yang artinya bapak sedang makan. Kemudian contoh lainnya yaitu, “kula ajeng sare”, seharusnya diucapkan “aku arep bobok” jika yang mengucapkan itu adalah seorang anak yang ditanya oleh orang yang lebih tua. Arti kalimat tersebut yaitu, saya mau tidur.

Untuk melestarikan bahasa Jawa agar tetap ada di kemudian hari, harus mengajarkannya kepada anak sejak kecil. Selain itu, pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah harus semakin di tambah jamnya, bukan malah dihilangkan dari kurikulum. Selain itu, harus menggunakan bahasa Jawa itu sendiri dalam berkomunikasi sehari-hari. Sebab orang bisa karena terbiasa, jika terbiasa menggunakan bahasa Jawa, akan menjadikan banyak orang Jawa yang pandai menggunakan bahasanya itu dengan tepat sesuai strata yang berlaku. Jika orang Jawa sudah tidak bisa menggunakan atau memakai bahasanya sendiri, maka akan kehilangan jati dirinya atau ilang Jowone.


9.    UNGKAPAN ORA ILOK ATAU LARANGAN ORANG JAWA

“Ungakapan ora ilok (larangan) dalam bahasa Jawa mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebaikan atau budi pekerti bagi masyarakat Jawa. Ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan atau melanggar unggah-ungguh.”

Ungkapan ora ilok di masyarakat Jawa sangatlah banyak, seperti salah satu contohnya larangan untuk tidak berbicara saat makan. Ora ilok mangan karo ngomong ‘tidak baik makan sambil bicara’. Dilihat dari bentuknya, larangan ini berlaku untuk umum, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Larangan ini pun mempunyai makna yang tidak diungkapkan secara langsung. Makna larangan ora ilok mangan karo ngomong ini merupakan ajaran atau nasihat supaya dalam hidup, orang harus bertingkah laku yang sopan dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas. Selain itu, jika larangan itu dilakukan (makan sambil bicara) bisa menyebabkan tersedak.”

 “Ora ilok bocah wedok lungguh karo jigang ‘tidak baik anak perempuan duduk dengan mengangkat kaki’. Dengan melihat bentuk ungkapan di atas, makna ungkapan ora ilok bocah wedok lungguh karo jigang adalah sebagai nasihat orang tua kepada anak gadisnya supaya bersikap sopan, karena tidak pantas jika seorang gadis duduk dengan mengangkat kaki.”

Selain dua larangan di atas, ada juga larangan seperti; ora ilok mangan karo mlaku, ora ilok mbuwang uwuh neng longan, ora ilok nyapu bengi-bengi, ora ilok nyugokne geni nggawe sikil, ora ilok ngidoni sumur mengko lambene guwing, ora ilok lungguh neng nduwur bantal mengko wudunen, dan lain sebagainya. Larangan-larangan atau ungkapan ora ilok yang sering dikatakan orang Jawa pada zaman dahulu, kini telah mulai sedikit kita dengar. Sudah sedikit orang tua yang menasehati anaknya dengan ungkapan-ungkapan Jawa seperti itu. Hal tersebut membuat anak-anak zaman sekarang sangat kurang sopan santunnya. Oleh sebab itu, orang tua harus sering-sering menashati anaknya dengan larangan-larangan yang sering dipakai orang Jawa zaman dahulu.


10. NULIS AKSARA JAWA

“Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi, dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung. Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulisbahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).”

 “Aksara Jawa dinamakan Dentawyanjana atau Carakan, berjumlah 20 buah, yang dimulai dengan aksara ha dan diakhiri aksara nga. Selain Carakan ada aksara murdayang fungsinya untuk penghormatan, aksara swara dan rekan yang keduanya digunakan terutama untuk menulis kata-kata serapan yang ingin ditonjolkan.” (Supono, 1998:61ª)

Semakin berkembangnya teknologi, kini huruf Jawa bisa ditulis melalui program komputer. Hanya dengan mengetik tombol-tombol di keyboard, sudah bisa muncul tulisan dengan aksara Jawa di komputer. Jadi, orang tidak perlu bersusah payah menuis tulisan Jawa yang cukup rumit. Akan tetapi, hal seperti itu justru membuat orang Jawa seperti zaman sekarang semakin bodoh. Bodoh disini maksudnya, orang Jawa yang semakin susah belajar menulis Jawa secara manual. Karena kemudahan dan kecanggihan teknologi yang membuat orang-orang zaman sekarang semakin malas, malas untuk belajar dan berusaha serta bekerja keras.Orang Jawa zaman sekarang memang sangat berbeda dengan orang-orang Jawa zaman dahulu, yang cenderung suka bekerja keras dan sangat ulet.

Sekarang ini hanya sedikit orang yang bisa menulis aksara Jawa. Jangankan menulis, membaca aksara Jawa saja kesulitan bahkan tidak bisa, apalagi menuliskannya. Maka dari itu, belajar menuis aksara Jawa harus diajarkan kepada anak sejak usia dini, tidak perlu menunggu belajar di Sekolah Dasar. Karena pasalnya, ingatan seorang anak lebih bertahan lama, dibandingkan ingatan orang dewasa. Maka apabila mengajarkan menulis aksara Jawa sejak kecil, kemungkinan anak tersebut akan tetap hafal hingga dia tua nantinya. Dengan begitu, aksara Jawa yang ditulis secara manual tidak akan pernah musnah dari masa ke masa.


11. NUNTUN KENDARAAN NANG LATARE WONG LIYO

Nuntun kendaraan nang latare wong liyo disini adalah larangan menaiki sepeda atau sepeda motor atau kendaraan lain di halaman seseorang. “Manusia Jawa bisa dikatakan sebagai manusia yang mempunyai tipe kepribadian unik. Dikatakan unik karena tingkah laku mereka yang dengan sengaja dilakukan dalam kombinasi berulang-ulang yang jarang dijumpai pada kepribadian manusia lainnya. Misalnya, manusia Jawa melaran seseoran menaiki sepeda onthel, motor atau kendaraan lainnya di halaman rumah seseorang. Hal tersebut dilarang karena menurut manusia Jawa hal it dianggap tidak sopan atau nranyak. Karena itu bila sampai di halaman rumah seseorang, sepeda wajib ditintun, tidak boleh dinaiki. Dan boleh kembali dinaiki manakala telah keluar dari area halaman rumah seseorang.“
           
Akan tetapi, di zaman sekarang ini, sudah banyak orang yang lupa dengan tata krama yang cukup sepele seperti itu. Kebanyakan mereka beranggapan tidak terlalu mengganggu bila hanya menaiki sepeda di halaman rumah seseoang. Sifat-sifat seperti itu yang menyebabkan tata krama orang Jawa semakin menurun atau bahkan hilang.


·        KESIMPULAN

Sebagai mana dilansir dari semua kegiatan yang di lakukan masyarakat jawa pada umumnya dan pada zaman dahulu tentunya, maka kita bisa tahu manakah kebiasaan masyarakat jawa yang sudah ditinggalkan dan yang masih di pakai di kehidupan atau di era globalisasi ini

Sumber: