Evolusi Kebiasaan
Masyarakat Indonesia Pada Umumnya di Pulau Jawa
Sebelum mengenal bagaimana keberadaan hidup orang
Jawa, perlu diketahui pula daerah asal orang Jawa yaitu Pulau Jawa. Pulau Jawa
merupakan daerah yang subur secara geografis. Maksudnya bahwa Pulau Jawa
merupakan daerah gunung berapi yang memiliki sejumlah besar gunung berapi, baik
yang masih bekerja maupun yang tidak. Sederet bukit-bukit kapur yang pada
umumnya berbentuk rata terdapat di sana, dan dari lereng-lereng gunung dan
bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung-gunung
berapi ke limbah-limbah yang luas di tepi sungai-sungai yang besar.
Lembah-lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus itu
mengandung kesuburan yang tinggi untuk pertanian, dengan suatu kapasitas
kandungan air yang tinggi pula. Karena itu Pulau Jawa di kenal dengan kesuburan
tanahnya yang menghasilkan. Namun kesuburan tanah Pulau Jawa juga banyak
dipengaruhi oleh iklimnya.
Keberadaan hidup orang Jawa, tak luput dari
kehidupan sosial dan budaya orang Jawa yang memiliki corak baginya. Sedang
kehidupan sosial dan budaya orang Jawa sendiri dilatarbelakangi oleh sisa-sisa
kebiasaan-kebiasaan hidup pada zaman sebelumnya. Pengaruh dari sisa-sisa
kebiasaan-kebiasaan hidup yang demikian menjadi ciri khas atau warna tersendiri
bagi kehidupan sosial dan budaya orang Jawa.
Pengaruh tersebut dapat dimulai dari zaman
berdirinya negara-negara Hindu-Jawa. Dalam kerajaan-kerajan agraris di Jawa
maupun di banyak kerajaan kuno di Asia Tenggara, berkembang konsep khusus
mengenai sifat raja. Dasarnya adalah kesadaran orang akan hubungan yang dekat
antara susunan alam semesta dengan kerajaan manusia. Pandangan mengenai susunan
antara alam semesta pada orang Jawa zaman dahulu diambil alih oleh agama hindu,
yang menganggap bahwa alam semesta merupakan benua berbentuk lingkaran yang
dikelilingi oleh beberapa samudera dengan pulau-pulau besar yang ada di empat
penjuru yang juga merupakan tempat tinggal keempat penjaganya yang keramat.
Konsep raja sebagai penjelmaan dewa memungkinkan bahwa seorang raja dalam suatu
kerajaan kuno dapat memantapkan pemerintahan kerajaannya atas dasar keyakinan
keagamaan rakyatnya.
Menyusul kemudian munculnya negara-negara
Islam di Pulau Jawa, juga ikut mempengaruhi dan merubah warna kehidupan hingga
kini. Meskipun terkadang masih terlihat adanya corak-corak tertentu yang tetap
mencirikhaskan dalam aspek-aspek kehidupannya. Seperti pada penyelenggaraan
aktivitas sosial-budaya yang menyangkut upacara selamatan orang Jawa masih
dapat mengharapkan bantuan dan perhatian dari para warga luasnya tetapi dalam
kehidupan ekonominya ia berdiri sendiri.
·
Berikut ini adalah budaya
Jawa yang sudah mulai agak Hilang
1.
PETANAN
Petanan atau dalam bahasa Indonesia mencari kutu adalah salah satu
kebiasaan orang Jawa yang mulai ditinggalkan. Pada
zaman dahulu, petanan sering dilakukan pada waktu senggang
atau saat beristirahat. Petananlebih sering dilakukan oleh kaum
wanita, sambil saling mengobrol atau bercerita. Petanan sebenarnya
bukan sekedar aktivitas mencari kutu, akan tetapi juga merupakan interaksi
sosial antara orang tua dengan anak, atau seseorang dengan tetangganya. Petanan sangat menjaga keakraban antara
individu satu dengan individu lainnya, karena interaksi yang telah dilakukan
itu.
“Kemajuan zaman sedikit demi
sedikit telah menggerus adat atau kebiasaan orang Jawa seperti petanan. Orang Jawa pada zaman dahulu menjaga kebersihan kepalanya dengan melakukan
aktivitas seperti petanan. Akan tetapi orang Jawa zaman sekarang
lebih memilih pergi ke salon atau spa untuk menjaga kebersihan rambut mereka.
Alasan orang zaman sekarang lebih memilih pergi ke salon dan spa karena masalah
waktu dan merasa memiliki cukup uang.
Selain itu, orang-orang zaman sekarang
cenderung memilih hal-hal instan, karena tuntutat pekerjaan dan gaya hidup
akibat pengaruh dari budaya luar. Padahal hal-hal seperti itu akan mengurangi
interaksi sosial yang terjadi dengan tetangga atau kerabat dekat. Perubahan
sosial seperti ini akan membuat rasa peduli antar sesama orang Jawa semakin
berkurang. Sementara hal yang paling terlihat berbeda, yaitu mulai hilangnya
sebuah tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, salah satunya mencari kutu atau petanan.
Salah satu cara untuk menjaga tradisi atau kebiasaan orang Jawa yang sudah
ada sejak dahulu itu, dengan melakukan kegiatan petanan. Walaupun
kelihatannya memalukan di zaman sekarang ini, tapi petanan bisa menjadi sebuah
ajang dalam berkumpul dengan teman, tetangga atau kerabat. Guna menjaga komunikasi dan interaksi sosial agar terus berjalan baik.
Apabila orang Jawa di zaman sekarang ini mulai
menurunkan ego dan rasa malunya, pastinya kegiatan seperti petanan masih
teta pada. Karena sesibuk apapun masyarakat Jawa zaman sekarang, pasti punya
waktu luang. Di waktu luang itulah mereka bisa berkumpul untuk saling mencari
kutu atau petanan, walaupun tidak semua orang memiliki kutu di
zaman modern seperti sekarang ini.
2.
PULUK
Puluk adalah cara makan orang Jawa dengan menggunakan tangan secara
langsung. Posisi tangan biasanya merapatkan kelima jari, kemudian
menggunakannya untuk mengambil makanan. Orang Jawa yang suka hidup sederhana,
sangat suka melakukan hal-hal yang sederhana pula, salah satunya adalah makan
menggunakan tangan secara langsung. Orang Jawa pada zaman dahulu sangat suka
makan menggunakan tangan atau puluk, alasannya karena pada zaman
dahulu peralatan makan masih sangat sedikit. Akan tetapi, di zaman sekarang, mangan
di puluk atau dalam bahasa Indonesia makan menggunakan tangan sudah
mulai jarang. Walaupun ada, biasanya hanya pada
acara-acara tertentu atau pada rumah makan lesehan.
“Orang jawa, sama seperti halnya suku
lain,tidak punya alat makan. Oleh karena itu orang jawa menggunakan tangan saat
makan. Di zaman sekarang piring sudah terbuat dari keramik dan sendok bisa
dijumpai dimana-mana karena itu orang jawa sekarang makan menggunakan sendok.
Namun kebiasaan makan pakai tangan tetap tidak bisa hilang terutama saat
prosesi adat.”
Orang Jawa pada
zaman sekarang lebih suka makan menggunakan sendok. Alasan pertama karena pada masa kini, sudah
ada beragam alat makan yang di jual di toko. Selain itu, akibat pengaruh budaya
luar, masyarakat beranggapan bahwa makan menggunakan sendok dianggap lebih
sopan daripada menggunakan tangan secara langsung. Maka dari itu banyak orang
yang memilih makan menggunakan sendok.
Makan
menggunakan tangan atau di puluk sebenarnya sangat menarik,
karena terasa lebih nikmat daripada menggunakan sendok. Makan di puluk membuat
tangan kita merasakan secara langsung tekstur makanan yang akan kita makan.
Selain itu, makan menggunakan tangan juga lebih melatih kita untuk bersabar.
Sebab, kita harus pandai-pandai memilih dan menyusun nasi serta lauk yang muat
untuk di bawa jari-jari tangan kita. Karena jika tidak, nasi akan jatuh
berceceran sebelum masuk ke dalam mulut.
Hal-hal seperti itu tidak hanya membuat tradisi
atau kebiasaan orang Jawa yang sudah ada mulai ditinggalkan, tetapi juga
terancam hilang. Sebagai orang Jawa, harusnya orang-orang masa kini tidak perlu
malu makan menggunakan tangan atau di puluk, tidak perlu malu
dianggap kampungan atau kurang sopan. Justru harus merasa bangga, karena
menjaga tradisi yang sudah ada.
3.
PINCUK
Pincuk adalah sebuah wadah makan yang digunakan
orang Jawa. Pincuk biasanya terbuat dari daun pisang yang kedua ujungnya
disatukan menggunakan lidi, kemudian dibagian bawah berbentuk runcing seperti
kerucut, lihat gambar pincuk di atas. Pincuk biasanya
dipakai sebagai pengganti piring pada zaman dahulu.
Selain itu, pincuk juga sering
digunakan untuk tempat membagikan bancakan dan tempat makan saat bekerja di
sawah. Pincuk dipilih para petani untuk tempat makan, karena
cara membuatnya yang mudah, serta banyak daun pisang yang bisa dijumpai di sawah.
Kemudian, agar tidak repot membawa piring dari rumah. Karena pada zaman dahulu
piring orang Jawa masih terbuat dari tanah liat yang mudah pecah. Selain itu,
walaupun sudah memakai piring, biasanya orang Jawa juga akan memberi alas daun
pisang di atas piringnya tadi, jadi untuk mempermudah, para petani lebih
memilih langsung menggunakan pincuk daun pisang saja.
“Orang jawa memiliki kebiasaan yang mungkin
aneh disbanding suku lain. Saat kita makan kita tidak boleh mengeluarkan suara
karena dianggap mirip hewan terutama sapi yang jika makan mereka selalu
mengeluarkan suara. Pada zaman dulu orang jawa makan dengan piring yang terbuat
dari tanah liat sehingga sebelum meletakkan makanan akan diberi sehelai daun
pisang karena jika tidk makanan akan kotor.”
Orang Jawa sangat suka makan beralaskan daun
pisang atau pincuk, karena terasa lebih nikmat. Akan tetapi, pada saat ini,
pincuk sudah jarang dipakai. Alasannya karena sudah ada beraneka ragam jenis
piring yang dijual di toko-toko. Alasan lainnya adalah, mulai jarangnya orang
menanam pohon pisang di sekitar rumah mereka. Karena keterbatasan lahan di masa
seperti sekarang ini.
Sekarang ini, pincuk masih bisa
kita temukan di tempat-tempat penjual makanan tradisional Jawa, seperti;
klepon, sego liwet, pecel, gudangan, lauk, jenang dan lain sebagainya.
Makanan-makanan tradisional yang masih menggunakan pincuk, biasanya
dijual di pasar atau pinggir-pinggir jalan. Untuk tetap menjaga
keberadaan pinjuk atau tempat makan yang terbuat dari daun
pisang ini, kita harus bangga dan tidak malu sesekali makan menggunakan pincuk.
Serta menyuruh para penjual untuk menggunakan pincuk daripada
plastik, karena plastik mengandung bahan kimia sedangkan daun bersifat alami,
sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Salah satu rahasia orang Jawa
yang memiliki umur panjang, mungkin dari makanan dan tempa makan yang mereka
gunakan masih sangat alami, dibandingkan dengan orang-orang sekarang yang
memilih sesuatu yang serba instan dan ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan
mereka.
4.
LUNGGUH SILA
Lungguh sila atau dalam bahasa Indonesia adalah duduk bersila,
merupakan posisi duduk yang biasa dilakukan orang Jawa. Posisi ini adalah duduk di atas tanah secara
langsung atau dengan beralaskan tikar. Posisi kedua kaki saling dilipat. Salah
satu telapak kaki masuk ke sela antara betis dan paha (bawah lutut) kaki yang
lainnya, sementara telapak kaki yang satunya berada tepat di bawah, lihat
gambar di atas. Posisi duduk seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang pria.
Sementara wanita Jawa biasanya duduk dengan
posisi kaki ditekuk ke samping. Sebab wanita Jawa pada zaman dahulu memakai
jarik, jadi akan menyulitkan mereka untuk duduk bersila.Kebiasaan
duduk bersila sudah ada di masyarakat Jawa sejak zaman dahulu. Orang Jawa lebih
suka duduk di atas tanah daripada duduk di atas kursi. Duduk bersila biasanya
dilakukan orang Jawa saat acara-acara adat atau hajatan, makan bersama, nonton
tv, mengaji, belajar, serta saat melakukan aktivitas lainnya.
“Saat
makan laki-laki duduk bersila sedangkan wanita duduk dengan merapatkan
selakangannya karena jika membuka selakangan dianggap tidak sopan, selain itu
pakaian adat wanita zaman dulu tidak memungkinkan wanita untuk duduk
mengangkan.” Ketika bertamu, orang Jawa zaman dahulu juga lebih memilih
duduk di bawah, karena beranggapan duduk di bawah lebih sopan daripada duduk di
atas kursi. Akan tetapi, pada zaman sekarang, orang lebih memilih duduk di atas
kursi yang empuk, dibandingkan harus duduk di atas tanah yang keras.
Kebiasaan-kebiasaan orang Jawa seperti lungguh sila, sudah mulai
jarang kita temui di waktu sekarang ini. Hanya orang-orang yang bertempat
tinggal di desa-desa yang masih sering lungguh sila. Oleh sebab
itu, menjadi kewajiban kita untuk menjaga kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa
zaman dahulu, yaitu dengan melakukan lungguh sila juga.
5.
JARIKAN
Jarikan dalam bahasa Indonesia adalah memakai jarik.
Jarik sendiri adalah sebuah kain bercorak batik yang biasanya dipakai dengan cara
dililitkan dipinggang sampai menutupi kaki. Jarik biasanya dipakai oleh kaum
wanita. Akan tetapi, pada acara-acara adat tertentu, kaum pria di Jawa juga
memakai jarik. Jariakansebenarnya mengajarkan kesopanan dalam
berpakaian untuk wanita Jawa. Motif jarik pada zaman dahulu, sangat menentukan
status sosial orang Jawa.
Ada motif-motif jarik
tertentu, yang pada zaman dahulu hanya boleh di pakai oleh raja dan ratu di
keraton. Seiring perkembangan zaman, kini semua orang bebas memakai motif jarik
yang diinginkan.
Akan tetapi, jumlah orang pemakai jarik di zaman sekarang mulai sedikit. Pemakai jarik yang biasanya adalah orang lanjut usia, kini lebih memilih memakai baju daster atau rok, coba perhatikan gambar di atas.
Akan tetapi, jumlah orang pemakai jarik di zaman sekarang mulai sedikit. Pemakai jarik yang biasanya adalah orang lanjut usia, kini lebih memilih memakai baju daster atau rok, coba perhatikan gambar di atas.
Terlihat gambar nenek yang
memakai daster dan jarikan. Penyebab semakin sedikit orang jarikan karena
memakai jarik yang terlalu rumit dan membutuhkan waktu lebih lama, daripada
jika memakai rok atau baju daster. Jariak semakin ditinggalkan, apalagi untuk
kaum muda. Biasanya jarik dipakai kaum muda hanya di acara-acara tertentu seperti hajatan
dan wisuda. Sebagai ciri khas pakaian orang Jawa, jarikan harus tetap dijaga
keberadaannya. Jangan sampai orang Jawa lupa dengan kebiasaan berpakaian nenek
moyangnya dulu.
6.
GULUNGAN
Gelungan adalah tatanan rambut bagi wanita
Jawa. Gelungan hanya bisa dilakukan pada rambut wanita yang
panjang. Apabila rambut wanita Jawa tersebut pendek, maka akan sangat sulut
digelung atau bahkan tidak bisa sama sekali. Cara gelungan yaitu
mengikat rambut dengan cara digulung dan dibentuk seperti cepol, lihat gambar
diatas.
Gelungan sudah ada sejak zaman dahulu.
Para wanita Jawa pada zaman dahulu yang kebanyakan memiliki rambut panjang,
akan menggelung rambutnya. Hal ini bertujuan agar mereka
tidak merasa gerah dengan rambut panjangnya itu. Orang Jawa biasa gelungan saat
melakukan kegiatan sehari-hari. Akan tetapi, untuk acara resmi atau acara adat
tertentu, orang Jawa akan gelungan dengan lebih rapi daripada saat kegiatan
sehari-hari tadi. Contohnya gelungan saat acara pernikahan
anak atau kerabatnya.
Pada zaman sekarang,
hanya sedikit orang yang gelungan. Kebanyakan dari mereka yang masihgelungan adalah
nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Akan tetapi banyak pula nenek-nekek zaman
sekarang yang tidak gelungan, justru hanya mengikat rambut mereka
dengan tali. Alasannya karena mereka memotong rambut dan memilih rambut pendek,
agar lebih mudah diatur. Kemudian karena gelungan lebih
merepotkan daripada mengikat rambut dengan tali.
Sebagai
kebiasaan dan tradisi yang telah ada, gelungan harus tetap di
jaga, dengan cara menggelung rambut yang memang panjang dan bisa digelung.
Selain itu, sebagai orang Jawa, harus memanjangkan rambut, karena mahkota
perempuan adalah rambutnya. Apabila memiliki rambut panjang, pastinya rambut
akan mudah digelung.
7. MLAKU
MBUNGKUK NANG NGAREPE WONG TUWA
Mlaku
mbungkuk disini
maksudnya adalah berjalan membungkuk saat lewat di depan orang yang lebih tua.
Perilaku orang Jawa seperti ini sudah ada sejak dahulu. Bertujuan untuk
mengajarkan tatakrama dan sopan santun kepada anak, agar menghormati orang yang
lebih tua. Posisi yang dimaksudkan dengan mlaku mbungkukyaitu,
membungkukkan badan ke bawah, kemudian meletakkan satu tangan di belakang
(tepat di atas pinggang), kemudian tangan yang satunya diluruskan ke bawah agak
ke depan. Biasanya orang yang jalan membungkuk sambil berkata “nyuwun sewu,
nderek langkung”. Saat berjalan dengan membungkukkan badan seperti ini,
haruslah berjalan pelan-pelan, bukan malah berlari. Hal seperti itu adalah cara
orang Jawa yang lebih muda dalam menghormati orang yang lebih tua, apabila
hendak lewat di depannya. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar orang berjalan
membungkuk di bawah ini.
“Dalam
interaksi sehari-hari di masyarakat Jawa, orang lebih muda akan selalu
membungkukkan badannya ketika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua.
Etika ini bila dilihat sepintas akan terlihat sangat sepele, namun sebenarnya
etika ini menggambarkan sikap tunduk atau hormat antara orang muda terhadap
orang yang lebih tua. Selain itu, sikap membungkukkan badan juga menandakan
bahwa orang ini menghargai dan menempatkan posisinya.“ (Zaairuh Haq, 2011:24)
Sayangnya,
anak-anak muda di Jawa zaman sekarang mulai pudar sopan santun dan
tatakramanya. Sehingga membuat mereka merasa tidak perlu lagi melakukan hal-hal
yang diajarkan orang tuanya sejak kecil. Disaat seperti sekarang ini, banyak
anak kecil atau orang yang lebih muda, berjalan seenaknya saat lewat di depan
oran yang lebih tua. Mereka merasa tidak malu atau dalam bahasa Jawa ora
perkewuh. Akibat pengaruh budaya luar, akan membuat tatakrama dan perilaku
anak muda di Jawa menjadi berubah. Maka dari itu kita harus pandai-pandai
memilih kebudayaan yang masuk, dengan meniru hal baik dan membuang hal yang
sekiranya tidak pantas dilakukan orang Jawa. Agar, sopan santun atau etika
orang Jawa tidak hilang dengan begitu saja.
8. UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA
“Unggah-ungguh
bahasa merupakan etiket bahasa (language ettiquete), kaidah sopan
santun bahasa yang menjadi tolok ukur apakah tindak bahasanya itu halus atau
kasar, hormat atau tak hormat,sopan atau tak sopan. Peristiwa bahasa (speech
event) dan tindak bahasa (speech act) seseorang yang ditunjukkan kepada
pendengar itu bersifat bebas, namun karena menyangkut hubungan pribadi dengan
orang lain, maka harus mengikuti aturan pergaulan dalam bentuk sikap dan bentuk
Bahasa patrap dan ucap).
Ragam
unggah-ungguh bahasa Jawa yang pokok, yang pada umumnya dipakai oleh semua
pemakai bahasa Jawa, ada tiga yang masing-masing memiliki sub-ragam lagi. Tiga
ragam tersebut yaitu ragam ngoko, ragam madya dan ragam krama. Selain ragam
pokok ada ragam khusus, karena pemakaiannya hanya sekelompok sosial. Ragam
khusu yang dimaksud yaitu ragam krama inggil, ragam krama desa, ragam bahasa
istana (kedaton dan Bagongan), dan ragam bahasa kasar.“ (Supono, 1998:16)
“Bahasa Jawa
adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang sangat susah dipelajari.
Bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan pada awal abad ke-20
mengikuti sistema yang sangat rumit. Sistema tersebut berhubungan dengan
perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, yaitu perbedaan yang berkenaa dengan
kedudukan, pangkat, usia, dan tingkat keakraban antara yang menyapa dan yang
disapa. Bahasa Jawa memiliki tiga strata pokok, yaitu Ngoko (strata tidak
resmi), Madya (strata setengah resmi), dan Krama (strata resmi). Selai itu,
masih ada enam strata lagi yang merupakan kombinasi dari ketiga strata pokok
itu, ditambah dengan 300 kosakata yang disebut Krama Inggil. Penggunaan ketiga
strata dan kombinasinya tersebut disesuaikan dengan atau sopan santun Jawa. Untuk
dapat menggunakannya dengan tepat, maka harus ditentukan dahulu kedudukan orang
yang diajak bicara. Perubahan sosial awal abad ke-20 sebagai akibat pendidikan
dan kemajuan ekonomi telah mengubah struktur kelas sosial. Ada kalanya orang
yang tua harus menghormanti yang lebih muda karena pangkatnya yang lebih
tinggi/karena menjadi pedagang kaya.” (Rustopo, 2007)
Hal-hal
seperti itu akan membuat hubungan menjadi canggung, dimana orang yang lebih
muda harus di hormati orang yang lebih tua hanya karena pangkat atau status
sosialnya yang lebih tinggi. Seiring perkembangan zaman, banyak orang Jawa yang mulai
hilang Jawanya. Maksudnya disini yaitu, orang Jawa yang tidak bisa
menggunakan bahasa Jawa dengan benar, atau bahkan sudah tidak bisa menggunakan bahasa
Jawa Krama.
“Masyarakat
Jawa sangat mengawasi dan memperhatikan betul tingkatan bahasa Jawa. Bahkan
orang akan dianggap tercela atau tidal sopan bila ia melakukan kesalahan dalam
menggunakan tingkatan bahasa tersebut. Misalnya, seorang abdi memakai bahasa
ngoko kepada bendaranya.
Sudah
pasti sang bendara akan menghukumnya atau setidaknya akan mengusirnya. Dan
memang tidak dipungkiri bahwa penggunaan bahasa pada awalnya tidak bisa lepas
dari muatan politik. Namun sekarang, tradisi penggunaan tingkatan bahasa lebih
cenderung bermuatan etika dan moral. Bermula dari sikap pengawasan yang
berlebihan ini pula, kemudian dalam masyarakat Jawa terdapat istilah Ajining
diri soko lathi, ajining rogo soko busono.maksudnya bahwa kita harus selalu
berhati-hati dalam bertutur kata, sopan santun, menghargai lawan bicara,
termasuk berkata dengan perkataan dan tingkat bahasa yang benar.” (Zaairul Haq,
2011:22)
“Orang
Jawa sekarang malu menggunakan bahasa Jawa, lebih menyukai bahasa Indonesia
sebagai bahasa percakapan. Hal ini patut disesali, terutama melihat bahwa bahasa
Jawa totok (bahasa Jawa Keratonan/Bagongan) dan bahasa Jawa Krama sudah hampir
menghilang dari peredaran. Mudah-mudahan bahasa Jawa Ngaka tetap tidak sampai
mengekor menjelang ambang kepunahan.“
Di waktu
seperti sekarang ini, banyak anak-anak atau anak muda yang tidak bisa
menggunakan bahasa Jawa dengan benar. Mereka cenderung berbicara ngoko dengan
orang yang lebih tua. Padahal dalam strata Jawa, itu sangat salah dan tidak
sopan, atau sering disebut ora boso karo wong tuwa. Alasanya karena
tidak tahu bahasa krama inggil atau bahasa krama alus. Penyebabnya karena
jarang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
Contohnya,
ketika seorang anak berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kalimat “bapak
lagi mangan”, seharusnya anak tersebut menggunakan kalimat “bapak nembhe
dahar” yang artinya bapak sedang makan. Kemudian contoh lainnya yaitu, “kula
ajeng sare”, seharusnya diucapkan “aku arep bobok” jika yang
mengucapkan itu adalah seorang anak yang ditanya oleh orang yang lebih tua.
Arti kalimat tersebut yaitu, saya mau tidur.
Untuk
melestarikan bahasa Jawa agar tetap ada di kemudian hari, harus mengajarkannya
kepada anak sejak kecil. Selain itu, pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah
harus semakin di tambah jamnya, bukan malah dihilangkan dari kurikulum. Selain
itu, harus menggunakan bahasa Jawa itu sendiri dalam berkomunikasi sehari-hari.
Sebab orang bisa karena terbiasa, jika terbiasa menggunakan bahasa Jawa, akan
menjadikan banyak orang Jawa yang pandai menggunakan bahasanya itu dengan tepat
sesuai strata yang berlaku. Jika orang Jawa sudah tidak bisa menggunakan atau
memakai bahasanya sendiri, maka akan kehilangan jati dirinya atau ilang
Jowone.
9. UNGKAPAN ORA
ILOK ATAU LARANGAN ORANG JAWA
“Ungakapan ora
ilok (larangan) dalam bahasa Jawa mengandung pesan moral dan nilai-nilai
kebaikan atau budi pekerti bagi masyarakat Jawa. Ungkapan
tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan
atau melanggar unggah-ungguh.”
Ungkapan ora
ilok di masyarakat Jawa sangatlah banyak, seperti salah satu contohnya larangan
untuk tidak berbicara saat makan. “Ora ilok mangan karo ngomong ‘tidak
baik makan sambil bicara’. Dilihat dari bentuknya, larangan ini berlaku untuk
umum, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Larangan ini pun mempunyai makna yang
tidak diungkapkan secara langsung. Makna larangan ora ilok mangan karo
ngomong ini merupakan ajaran atau nasihat supaya dalam hidup, orang
harus bertingkah laku yang sopan dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak
pantas. Selain itu, jika larangan itu dilakukan (makan sambil bicara) bisa
menyebabkan tersedak.”
“Ora
ilok bocah wedok lungguh karo jigang ‘tidak baik anak perempuan duduk
dengan mengangkat kaki’. Dengan melihat bentuk ungkapan di atas, makna ungkapan ora
ilok bocah wedok lungguh karo jigang adalah sebagai nasihat orang tua
kepada anak gadisnya supaya bersikap sopan, karena tidak pantas jika seorang
gadis duduk dengan mengangkat kaki.”
Selain dua
larangan di atas, ada juga larangan seperti; ora ilok mangan karo
mlaku, ora ilok mbuwang uwuh neng longan, ora ilok nyapu bengi-bengi, ora
ilok nyugokne geni nggawe sikil, ora ilok ngidoni sumur mengko
lambene guwing, ora ilok lungguh neng nduwur bantal mengko wudunen, dan
lain sebagainya. Larangan-larangan atau ungkapan ora ilok yang
sering dikatakan orang Jawa pada zaman dahulu, kini telah mulai sedikit kita
dengar. Sudah sedikit orang tua yang menasehati anaknya dengan
ungkapan-ungkapan Jawa seperti itu. Hal tersebut membuat anak-anak zaman sekarang sangat
kurang sopan santunnya. Oleh sebab itu, orang tua harus sering-sering
menashati anaknya dengan larangan-larangan yang sering dipakai orang Jawa zaman
dahulu.
10. NULIS
AKSARA JAWA
“Aksara Jawa adalah sistem tulisan
Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan
suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi
aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi, dan
karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap
kata. Selain
itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca
dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda
hubung. Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara
dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulisbahasa Jawa modern,
sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap
suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara
telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk
menulis gugus konsonan).”
“Aksara Jawa dinamakan Dentawyanjana atau Carakan,
berjumlah 20 buah, yang dimulai dengan aksara ha dan diakhiri
aksara nga. Selain Carakan ada aksara murdayang
fungsinya untuk penghormatan, aksara swara dan rekan yang keduanya digunakan
terutama untuk menulis kata-kata serapan yang ingin ditonjolkan.” (Supono,
1998:61ª)
Semakin
berkembangnya teknologi, kini huruf Jawa bisa ditulis melalui program komputer.
Hanya dengan mengetik tombol-tombol di keyboard, sudah bisa muncul tulisan
dengan aksara Jawa di komputer. Jadi, orang tidak perlu bersusah payah menuis
tulisan Jawa yang cukup rumit. Akan tetapi, hal seperti itu justru membuat orang
Jawa seperti zaman sekarang semakin bodoh. Bodoh disini maksudnya, orang Jawa
yang semakin susah belajar menulis Jawa secara manual. Karena kemudahan dan
kecanggihan teknologi yang membuat orang-orang zaman sekarang semakin malas,
malas untuk belajar dan berusaha serta bekerja keras.Orang Jawa zaman sekarang memang sangat
berbeda dengan orang-orang Jawa zaman dahulu, yang cenderung suka bekerja keras
dan sangat ulet.
Sekarang ini
hanya sedikit orang yang bisa menulis aksara Jawa. Jangankan menulis, membaca
aksara Jawa saja kesulitan bahkan tidak bisa, apalagi menuliskannya. Maka dari
itu, belajar menuis aksara Jawa harus diajarkan kepada anak sejak usia dini,
tidak perlu menunggu belajar di Sekolah Dasar. Karena pasalnya, ingatan seorang
anak lebih bertahan lama, dibandingkan ingatan orang dewasa. Maka apabila
mengajarkan menulis aksara Jawa sejak kecil, kemungkinan anak tersebut akan
tetap hafal hingga dia tua nantinya. Dengan begitu, aksara Jawa yang ditulis
secara manual tidak akan pernah musnah dari masa ke masa.
11. NUNTUN KENDARAAN NANG LATARE WONG LIYO
Nuntun
kendaraan nang latare wong liyo disini adalah larangan menaiki sepeda atau sepeda
motor atau kendaraan lain di halaman seseorang. “Manusia Jawa bisa dikatakan sebagai manusia yang mempunyai tipe
kepribadian unik. Dikatakan unik karena tingkah laku mereka yang dengan sengaja
dilakukan dalam kombinasi berulang-ulang yang jarang dijumpai pada kepribadian
manusia lainnya. Misalnya, manusia Jawa melaran seseoran menaiki sepeda
onthel, motor atau kendaraan lainnya di halaman rumah seseorang. Hal
tersebut dilarang karena menurut manusia Jawa hal it dianggap tidak sopan atau nranyak.
Karena itu bila sampai di halaman rumah seseorang, sepeda wajib ditintun,
tidak boleh dinaiki. Dan boleh kembali dinaiki manakala telah keluar dari area
halaman rumah seseorang.“
Akan tetapi, di
zaman sekarang ini, sudah banyak orang yang lupa dengan tata krama yang cukup
sepele seperti itu. Kebanyakan mereka beranggapan tidak terlalu mengganggu bila
hanya menaiki sepeda di halaman rumah seseoang. Sifat-sifat seperti itu yang
menyebabkan tata krama orang Jawa semakin menurun atau bahkan hilang.
·
KESIMPULAN
Sebagai mana dilansir dari
semua kegiatan yang di lakukan masyarakat jawa pada umumnya dan pada zaman
dahulu tentunya, maka kita bisa tahu manakah kebiasaan masyarakat jawa yang
sudah ditinggalkan dan yang masih di pakai di kehidupan atau di era globalisasi
ini
Sumber: