Musik Saya

Rabu, 15 Juni 2016

Manusia Dan Sastra

Manusia Dan Sastra

BAB I

PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
                  Sastra adalah seni bahasa. Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Apresiasi Kesusastraan” mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.
                  Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
                 Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait.
1.2    Rumusan Masalah
  1. Bagaimana awal terciptannya sastra?
  2. Apa hubungan sastra dengan kehidupan manusia?
  3. Bagaimana sastra bisa mempengaruhi kehidupan manusia?

1.3     Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui awal terciptannya sastra
  2. Mengetahui hubungan sastra dengan kehidupan manusia
  3. Untuk mengetahui pengaruh sastra pada kehidupan manusia


BAB II
PEMBAHASAN
1.4   Awal terciptannya sastra
                Berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere, serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw. Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu.
1.5    Hubungan sastra dengan kehidupan manusia
                     Terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kehidupan, karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana ia melibatkan dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat (Semi, 1989:56). Melalui sastra, pola pikir seseorang atau kelompok masyarakat dapat terpengaruh. Karena sastra merupakan salah satu kebudayaan, sedangkan salah satu unsur kebudayaan adalah sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, di dalam sebuah karya sastra tentu akan terdapat gambaran-gambaran yang merupakan sistem nilai. Nilai-nilai yang ada itu kemudian dianggap sebagai kaidah yang dipercaya kebenarannya, sehingga pola pikir masyarakat dapat terbentuk melalui karya sastra. Keterkaitan antara sastra, manusia, dan masyarakat sangat jelas, Keterkaitan semuanya terdapat di dalam segala aspek. Karena bagaimanapun juga sastra dan kehidupan sama-sama membahas dan membicarakan tentang manusia dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat merupakan faktor terpenting. Sedangkan Masyarakat merupakan objek vital bagi ilmu sosial. Semua hal itu saling mempengaruhi sikap masing-masing. Ketikan sastra telah mengemukakan sesuatu yang benar dalam rekaannya, sedikit banyak akan mempengaruhi sikap sosial dan ketika sosialitas terus berkembang. Antara sastra dan Perubahan sosial masyarakat tidak ada yang paling menonjol. Dua hal tersebut saling mendukung. Sastra bisa timbul karena perubahan sosial masyarakat, bisa juga perubahan sosial yang ada akibat dari penciptaan sebuah karya sastra.
         Hasil karya sastra mempunyai pesan bila menantang struktur pemikiran, yaitu pandangan dunia yang tidak kita sadari, tetapi yang menjiwai kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Unsur-unsur ini hanya kita dapati dalam karya-karya pengarang yang unggul dan peka terhadap realitas sosial budayanya. Sastrawan ini menjadikan kehidupan sosial transparan, menampakkan rahasia-rahasia suatu kebudayaan yang bersama-sama didukung oleh para anggotanya beserta dasar-dasar etos yang merupakan ciri khas dalam kehidupan sehari-hari biarpun dasar-dasar itu tidak begitu manis.
1.6     Sastra mempengaruhi kehidupan manusia
                     Hasil karya sastra yang bersifat simptomatis (memaparkan gejala) membuat sadar pembacanya akan kondisi kemanusiaa meskipun tanpa pretensi memberikan petunjuk pemecahannya (Kuntowijoyo,1982). Karya sastra menyangkut persoalan individu dan masyrakat, sehingga penokohannya pun ada yang mewakili grup sosial, ada juga yang bersifat individu. Dalam karya sastra dialektis-konstruktif, masyarkat berbeda pada pihak yang benar, dan pribadi menyatu kembali dengan masyarakat. Sebaliknya dalam sastra dialektis-destruktif, individu memberontak kepada masyarakat dan menjadi korban kekejamana masyarakat.

BAB III
KESIMPULAN
               Keterkaitan anatara sastra, manusia, dan masyarakat sangat jelas, keterkaitan semuanya terdapat di dalam segala aspek. Karena bagaimanapun juga sastra dan kehidupan sama – sama membahas dan membicarakan tentang manusia dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat merupakan faktor terpenting. Sedangkan masyarakat merupakan objek vital bagi ilmu sosial. Semua hal itu saling mempengaruhi sikap masing – masing. Ketika sastra telah mengemukakan suatu yang benar dalam rekaannya, sedikit banyak akan mempengaruhi sikap sosial dan ketika sosialitas terus berkembang.
               Antara sastra dan perubahan sosial masyarakat tidak ada yang paling menonjol. Dua hal tersebut saling mendukung. Sastra bisa timbul karena perubahan sosial masyarakat, bisa juga perubahan sosial yang ada akibat dari penciptaan sebuah karya sastra.
                Gambaran di atas menunjukan betapa karya sastra tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat. Sebagai cerminan masyarakat, sastra mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu penting kiranya dipahami bahwa sastra sudah sepantasnya untuk diperhatikan dan diapresiasi sebagai sesuatu yang sangat perlu untuk baca, dipahami dan jika perlu dikembangkan.
                   Maraknya sastra islami merupakan angin segar bagi kaum muslim bagi penyebaran nilai-nilai islam di negeri ini. Lahirnya sastra ini mampu mengimbangi karya sekuler dan erotik yang membahayakan kaum muda. Lahirnya karya sastra islami perlu diberikan appresiasi yang tinggi mengingat peranannya yang begitu penting bagi keberlangsungan generasi muda kita. Umat islam perlu terus memotivasi dan mendorong para sastrawan muslim untuk berdakwah melalui karya sastra. Dengan demikian kita akan mampu memperjuangkan eksistensi ideologi islam menggunakan media yang sangat istimewa ini.
DAFTAR PUSTAKA

Manusia Dan Penderitaan

Manusia dan Penderitaan 

Kali ini gak mau bikin tugas yang instan deh, yang tinggal ctrl+c ctrl+v hahaha
Sebenernya bingung juga sih mau nulis apa, karena bahannya itu manusia dan penderitaan.
Penderitaan itu kan semacam rasa sakit ya, jadi menurut gue kayaknya semua manusia pernah merasakan penderitaan hahaha
Gue mau cerita aja deh. Minggu ini gue baru sembuh dari sakit kaki, atau kata temen-temen gue menyebutnya koreng HAHAHAHAHAHA PADAHAL BUKAN YA ALLAH SERIUS
Jadi awalnya tuh gue iseng kan ya ngelopekin kuku jempol kaki gue, iseng iseng iseng eh malah kulitnya kena seset gitu. Akhirnya kan kulitnya gue kelopek juga jadi bolong kan tuh dagingnya keluar. Gue kira 3 harian sembuh, ternyata gak kering-kering lukanya.
Minggu pertama masih nongol aja dagingnya, minggu kedua masih sakit akibat kukunya juga numbuh, minggu ketiga makin sakit. Gue tuh kalo pake sapatu selalu diperban jempolnya, biar gak gesekan sama sepatu gitu. Rajin obatin terus tiap hari tiap pagi siang sore hahaha sampe kaki gue rendem di air garem jogja. Garem jogja punya temen gue katanya ampuh bikin kuman di kaki ilang.
Nah minggu ke empat gue balik ke rumah kan, kata bapak gue potong aja dagingnya siapa tau ada kuku yang nangcep. Ternyata bener ada kuku😦
Akhirnya minggu ke lima gue sembuh dari penderitaan kuku nangcep.
Sumber : Google.com

Nilai - Nilai Kebudayaan

Nilai - Nilai Kebudayaan


Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali kebudayaan, dari sabang sampai marauke. Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang kental.
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi  yang  hidup  dalam  alam  fikiran  sebahagian  besar  warga  masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia

Peran Kebudayaan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup Manusia Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Suparlan (1988) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang lainnya adalah perangkat – perangkat, model – model pengetahuan yang secara selektif dapat dipergunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan – tindakan yang diperlukannya. Lebih lanjut Suparlan menjelaskan, kebudayaan dan pembangunan mempunyai kaitan yang fungsional. Dalam hal ini kebudayaan harus diartikan sebagai suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi lingkungan – lingkungan tertentu (fisik / alami, sosial dan kebudayaan). Kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat agar mereka itu dapat tetap melangsungkan kehidupannya yaitu memenuhi kebutuhan – kebutuhannya dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu kebudayaan seringkali juga dinamakan sebagai blueprint atau disain menyeluruh dari kehidupan. Beraneka ragamnya kebutuhan – kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya baik secara terpisah – pisah maupun secara bersama – sama sebagai suatu satuan kegiatan telah menyebabkan terwujudnya beraneka ragam model pengetahuan yang menjadi pedoman hidup yang masing – masing berguna atau relevan untuk usaha masing – masing kebutuhan manusia. Sehingga dalam hal pengkajian mengenai peranan kebudayaan dalam kaitannya dengan usaha – usaha pemenuhan kebutuhan – kebutuhan manusia, kebudayaan dilihat sebagai terdiri atas unsur – unsur yang masing – masing berdiri sendiri tetapi yang satu sama lainnya saling berkaitan. Unsur – unsur kebudayaan tersebut menurut Sujarwa dalam Koentjaraningrat (1981:186) adalah sebagai berikut:
  1. Bahasa dan komunikasi
  2. Ilmu pengetahuan
  3. Teknologi
  4. Ekonomi
  5. Organisasi Sosial
  6. Agama
  7. Kesenian

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan kehidupan material manusia (baik secara kualitas dan kuantitas), unsur – unsur kebudayaan yang penting adalah teknologi dan ekonomi. Namun demikian, dalam tindakan – tindakan pemenuhan kebutuhan – kebutuhannya manusia selalu melibatkan keseluruhan unsur – unsur kebudayaan (secara langsung ataupun tidak langsung), aspek – aspek biologi dan emosi manusia yang bersangkutan, dan juga kualitas, kuantitas serta macam sumber daya / energi yang tersedia dan ada dalam lingkungan. Dalam tindakan – tindakan pemenuhan kebutuhan tersebut, salah satu aspek penting yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah aspek yang terwujud sebagai tradisi – tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat atau pranata sosial / struktur sosial. Pentingnya peranan aspek sosial itu disebabkan oleh hakekat kemanusiaan dari manusia itu sendiri, yaitu sebagai makhluk sosial, yang dalam hal mana hampir sebahagian besar dari kegiatan – kegiatan pemenuhan kebutuhan – kebutuhannya itu dicapai melalui dan dalam kehidupan sosial.




Nilai mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia (adisubroto, 2000) yaitu sebagai berikut:
  • Nilai berfungsi sebagai standar, yaitu standar yang menunjukkan tingkah laku dari berbagai cara, yaitu :
  1. Membawa individu untuk mengambil posisi khusus dalam masalah sosial.
  2. Mempengaruhi individu dalam memilih ideologi politik atau agama.
  3. Menilai dan menentukan kebenaran dan kesalahan atas diri sendiri dan orang lain.
  4. Merupakan pusat pengkajian tentang proses-proses perbandingan untuk menentukan individu bermoral dan kompeten.
  5. Nilai di gunakan untuk mempengaruhi orang lain atau mengubahnya
  • Nilai berfungsi sebagai rencana umum (general plan) dalam menyelesaikan konflik dan pengambilan keputusan.
  • Nilai berfungsi motivasional. Nilai memiliki komponen motivasional yang kuat seperti halnya komponen kognitif, afektif, dan behavioral.
  • Nilai berfungsi penyesuaian, isi nilai tertentu di arahkan secara langsung kepada cara bertingkah laku serta tujuan akhir yang berorientasi pada penyesuaian. Nilai berorientasi penyesuaian sebenarnya merupakan nilai semu karena nilai tersebut di perlukan oleh individu sebagai cara untuk menyesuaikan diri dari tekanan kelompok. Nilai berfungsi sebagai ego defensive. Di dalam prosesnya nilai mewakili konsep-konsep yang telah tersedia sehingga dapat mengurangi ketegangan dengan lancer dan mudah
  • Nilai berfungsi sebagai pengetahuan dan aktualisasi diri. Fungsi pengetahuan berarti pencarian arti kebutuhan untuk mengerti, kecenderungan terhadap kesatuan persepsi dan keyakinan yang lebih baik untuk melengkapi kejelasan dan konsepsi.


Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Indonesia

Kemajemukan masyarakat Indonesia menunjukkan suatu aneka warna yang besar dalam hal budaya dan bahasa. Hal tersebut menjadikan mayoritas masyarakat Indonesia bangga akan Bhineka Tunggal Ika yang melambangkan bangsa Indonesia itu sendiri.
Salah satu kebudayaan khas masyarakat Indonesia adalah gotong royong. Gotong royong merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan kehidupan rakyat Indonesia sebagai masyrakat agraris, oleh karena itu gotong royong bernilai tinggi.
Gotong royong mengandung 3 konsep : Pertama, Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyrakatnya dan alam semesta sekitarnya. Kedua, Dalam segala aspek kehidupan manusia pada hakekatnya tergantung terhadap sesamanya. Ketiga, Memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata sama-rasa. Seluruh konsep tersebut memberikan sifat ketergantungan kepada sesama, dimana hal tersebut menciptakan suatu rasa keamanan nurani yang sangat dalam. Gotong royong merupakan kunci budaya kontemporer Indonesia, yang menggambarkan masyarakat di dalamnya dan semua kebijakan yang diambil dalam kehidupan bermasyarakat harus berdasarkan konsep gotong royong (Bowen 1986, 545).

Perbandingan Budaya Indonesia Dan Jepang

Perbandingan Budaya Indonesia Dan Jepang


  1. Apakah perbandingan budaya itu ?
Budaya adalah kristalisasi nilai dan pola hidup yang dianut suatu komunitas. Budaya tiap komunitas tumbuh dan berkembang secara unik, karena perbedaan pola hidup komunitas itu. Perbandingan budaya Jepang dan Indonesia berarti mencari nilai-nilai kesamaan dan perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kesulitan utama dalam membuat perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang disebabkan perbedaan karakteristik kedua bangsa tersebut. Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional[1]. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada.
Bahasan dalam makalah ini dibatasi pada perbandingan budaya Indonesia dan Jepang dari segi-segi sbb. : “nama dan tanda tangan”, “cara pemakaian gesture untuk penghormatan kepada yang lebih tua/dihormati”.
  1. Tradisi Pemilihan Nama dan Tanda Tangan

    2.1 Tradisi penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”(家) dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.
2.2 Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
  • Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
  • Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
  • Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
  • Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
  • Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.
2.3 Perbandingan kedua tradisi
Persamaan antara kedua tradisi
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan
salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (郎), sedangkan perempuan berakhiran “ko” (子)

Perbedaan antara kedua tradisi sbb.
  1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta kelahiran
  2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan.
  3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
2.4 Pengalaman unik yang timbul akibat perbedaan budaya
Bagi orang Indonesia yg datang di Jepang, saat registrasi, misalnya membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first name. Hampir setiap saat saya harus selalu menjelaskan perbedaan tradisi antara Indonesia dan Jepang, bahwa di Indonesia tidak ada keharusan memiliki family name. Umumnya hal ini dapat difahami dan tidak menimbulkan masalah. Tetapi adakalanya kami harus menentukan satu nama sebagai family name, misalnya saat menulis paper (artikel ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan. Saat itu saya terpaksa memakai nama “Nugroho” sebagai family name agar tidak mempersulit masalah administrasi. Demikian juga saat anak saya lahir, kami beri nama Kartika Utami Nurhayati. Nama anak saya walaupun panjang tidak ada satu pun yang merupakan nama keluarga. Tetapi saat registrasi, pihak pemerintah Jepang (kuyakusho) meminta saya untuk menetapkan satu nama yang dicatat sebagai keluarga, karena kalau tidak akan sulit dalam pengurusan administrasi asuransi. Akhirnya nama “Nurhayati” yang letaknya paling belakang saya daftarkan sebagai nama keluarga. Bagi orang Jepang hal ini akan terasa aneh, karena dalam keluarga kami tidak ada yang memiliki nama keluarga yang sama.
Masih berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan inkan (stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal. Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara lain :
  1. “Mitomein” (認印) dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.
  2. “Jitsuin” (実印) dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil. Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.
  3. “Ginkoin” (銀行印) dipakai untuk membuka rekening di bank
“Jitsuin” dan “ginkoin” sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.
Bagi orang asing saat masuk ke Jepang harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai tanda tangan, dan harus memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan pemakaian tanda tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka orang Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya), umumnya mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena inilah maka kalau saya diminta seorang petugas pengiriman barang, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti terima, dia berkata “tolong tuliskan nama lengkap anda”, padahal itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka, tanda tangan sama dengan menulis nama lengkap.

3. Pemakaian gesture/gerak tubuh untuk memberikan penghormatan dan kasih sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). Ritsurei adalah ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigidibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan.Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih.Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Baik budaya Jepang maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
  1. Penutup
Perbandingan budaya antara Indonesia dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa Indonesia dan bangsa Jepang. Salah satu kesulitan utamanya adalah perbedaan karakteristik kedua bangsa: bangsa Jepang relatif homogen, sedangkan bangsa Indonesia sangat heterogen. Karenanya, perbandingan akan lebih mudah jika difokuskan pada satu suku bangsa di Indonesia. Misalnya budaya Jepang dengan budaya Jawa Tengah, atau budaya Jepang dengan budaya Sunda. Hal ini menggiring kita pada pertanyaan berikutnya : apakah bangsa Indonesia memiliki budaya nasional ? Ataukah budaya nasional itu tidak lain adalah kumpulan dari warna-warni budaya suku bangsa kita ? Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, dan menarik untuk dianalisa lebih lanjut.

Potensi Diri

Potensi Diri

Ya mungkin pada potensi diri kali ini saya mau membahas tentang pertama kali kenapa saya memilih masuk SMK daripada SMA, sebenarnya saya dari dulu ingin sekali masuk SMA dikarenakan menurut semua kakak kakak saya SMA itu lebih seru daripada SMK baik dari pergaulannya maupun teman temannya, selain itu kendalanya nem SMP gua di tengah-tengah jadi bingung mau masuk SMA bagus gabisa soalnya masih kurang tinggi sedikit lagi. dan akhirnya gua nyari SMK sama nyokap gua, SMK pertama yang dicoba yaitu SMKN 1 Depok yang ada di tapos, gua sama nyokap gua akhirnya berangkat ke SMKN 1 buat daftar dan jurusan yang gua pilih saat itu RPL atau bisa disebut juga Rekayasa Perangkat Lunak gua milih jurusan itu soalnya dari dulu gua emang udah suka banget sama yang namanya Komputer dan lainnya, pada saat gua udah sampe di SMKN 1 gua langsung menuju ke kelas yang disitu tempat untuk daftar jurusan RPL, menurut gua nem 32,90 itu udah aman gua berasa deg-degan juga si sampe akhirnya dikasih tau sama orang yang ngurusin pendaftarannya kalo nem terkecil di jurusan RPL itu 33 ,00 akhirnya gua sama nyokap gua mengambil kembali berkas-berkas pendaftaran yang udah gua kasih ke sekolah itu walaupun gua lumayan sedih gabisa sekolah disitu tapi mungkin itu emang udah jadi yang terbaik buat gua. Setelah itu gua belom nyari SMK lagi karna emang masih lama juga buat masuk sekolahnya, nah disini yang momen yang paling unik gua lagi jalan-jalan sama keluarga gua ke Margo dan disana emang lagi ada banyak sekolah yang mempromosikan sekolahnya masing-masing gua tertarik sama 1 sekolahan yaitu SMK Nasional dan disitu gua akhirnya daftar via marketting kan karna kalo gua daftar ke sekolahannya langsung mungkin udah penuh atau gabisa lagi itupun gua masuk ke gelombang 2. Sehari setelah itu gua sama nyokap gua langsung berangkat kan ke SMK Nasional pas sampe sana gua emang tertarik sama sekolahannya dari pakaiannya yang kaya Pelayaran sama kedisiplinannya yang kaya tentara dan akhirnya disitu gua bener-bener serius pengen sekolah disitu akhirnya nyokap gua bayar DP dan lain-lainnya. Jadi itu kisah gua kenapa pilih SMK daripada SMA dan pilih SMK Nasional. Mungkin sekian aja potensi diri kali ini, mohon maaf kalo ada kata yang kurang berkenan. Wasalam.
Sumber: Google.com

Manusia Dan Keadilan

Manusia dan Keadilan

A. Pengertian Keadilan
   Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai  titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
   Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal.
   Lain lagi pendapat Socrates yang memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Mengapa diproyeksikan pada pemerintah, sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat.
   Kong Hu Cu berpendapat lain : Keadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melakukan kewajibannya. Pendapat ini terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau disepakati.
   Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan yang sama.
   Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak, maka kita akan diperbudak atau diperas oleh orang lain.
B. Keadilan Sosial
   Dalam dokumen lahirnya pancasila diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya prinsip tersebut dijelaskan sebagai prinsip “tidak ada kemiskinan didalam Indonesia merdeka”. Dari usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan.
   Bung Hatta dalam penguraiannya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur.” Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 45 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci.
 
  Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut  :
“Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonmi dan kebudayaan.”
 
  Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai berikut :
“Dengan sila keadilan seluruh rakyat indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial bagi kehidupan masyarakat Indonesia.”
   Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1). Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2). Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3). Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan.
4). Sikap suka bekerja keras.
5). Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
   Asas yang menuju dan terciptana keadilan sosial itu akan dituangkan dalm berbagai langkah dan kegiatan, antara lain melalui kedelapan jalur sebagai berikut :
1). Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2). Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3). Pemerataan pembagian pendapatan.
4). Pemerataan kesempatan kerja.
5). Pemerataan kesempatan berusaha.
6). Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7). Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8). Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
   Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia karena dalam kehidupan manusia menghadapi keadilan/ketidakadilan setiap hari. Oleh sebab itu keadilan dan ketidakadilan, menimbulkan daya kreativitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel, musik dan lain-lain.
C. Berbagai Macam Keadilan
a). Keadilan legal atau keadilan moral
   Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaannya yang menurut sifat dasrnya paling cocok baginya (Tha man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan Sunoto, menyebutnya keadilan legal.
   Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa adalah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak menampuri urusan yang tidak cocok baginya.
   Ketidak-adilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidakserasian.
b). Keadilan distributif
   Aristoteles berpedapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally).
c). Keadilan komulatif
   Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak-adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
D. Kejujuran
   Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jukur berarti juga seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum.
   Barang siapa berkata jujur dan bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu berbuat benar.
Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik dari pada orang pandai yang lancung. Barang siapa yang tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, termasuk golongan orang munafik sehingga tidak menerima belas kasihan Tuhan.
   Pada hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut akan kesalahan dan dosa. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri karena berhadapan dengan hal baik buruk.
   Kejujuran bersangkutan erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi Nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dan meneropong kebenaran lokal maupun kebenaran Illahi. (M,Alamsyah,1986:83). Nurani yang diperkembangkan dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan.
   Berbagai hal yang menyebabkan manusia tidak berlaku jujur, mungkin karena tidak rela, pengaruh lingkungan, sosial ekonomi, terpaksa ingin populer, sopan santun dan untuk mendidik.
   Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang diperboelhkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas yang dibenarkan.
E. Kecurangan
   Kecurangan atau curang identik dengan ketidak-jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa dengan benar,
   Curang atau kecurangan berarti apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau, orang itu memang dari hatinya sudah bermakhsud curang dengan memperoleh keuntungan tanpa berbuat usaha. Keuntungan yang dimakhsud disini adalah keuntungan yang berupa materi. Mereka yang curang menganggap akan mendatangkan kesenangan meskipun orang lain menderita karenanya.
   Kecurang menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat disekelilingnya hidup menderita.
   Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan. Ditinjau dari hubungan manusia dan alam sekitarnya, ada empat aspek, yaitu :
a). Aspek ekonomi
b). Aspek kebudayaan
c). Aspek peradaban
d). Aspek teknik
Apabila keempat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral dan norma hukum. Akan tetapi, apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki, maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan.
F. Pemulihan Nama Baik
   Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Seseorang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih bila ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaa batin yang tak ternilai harganya.
   Ada pribahasa berbunyi “daripada berputih mata lebih baik berputi tulang” artinya orang lebih baik mati dari pada malu. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya “jagalah nama keluargamu” Dengan menyebut nama berarti sudah mengandung “nama baik”. Ada pula pesan orang tua “jangan membuat malu” pesan itu juga berarti menjaga nama baik. Orang tua yang berhadapan dengan anaknya yang sudak dewasa sering kali berpesan “laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang kau anggap tidak baik”. Dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga.
   Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku dan perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang lain, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
   Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
a). Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral.
b). Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
   Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak.
   Akhlak berasal dari bahasa Arab yakni Akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu, manusia harus harus bertingkah laku dengan akhlak yang baik,
   Untuk memulihkan nama baik, manusia harus taubat atau minta maaf. Taubat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku yang sopan, ramah, berbuat budi darma dengan memberikan kebajikan dan pertolongan kepada sesama makhluk hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang, tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil dan budi luhur selalu dipupuk.
G. Pembalasan
   Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. reksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang.
   Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat akan mendapat pembalasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan akan mendapat balasan yang tidak bersahabat pula.
   Pada dasarnya, manusia adalah makhluk moral dan sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkan. Perbuatan moral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
    Oleh karena setiap manusia tidang menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.
  
Daftar Pustaka
Nugroho,Widyo & Muchji,Achmad. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Gunadarma.
http://meylaniarifmuhaimah.blogspot.co.id/2015/05/manusia-dan-keadilan.html